Mataram (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat(NTB) mengubah vonis hukuman terdakwa korupsi pengelolaan dana badan layanan umum daerah (BLUD) tahun anggaran 2017-2020 mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Praya, Kabupaten Lombok Tengah Muzakir Langkir dari enam menjadi delapan tahun penjara.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muzakir Langkir dengan pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan," kata Achmad Guntur, Ketua Majelis Hakim tingkat banding saat membacakan putusan terdakwa Muzakir Langkir dalam sidang terbuka melalui siaran langsung di kanal YouTube Pengadilan Tinggi NTB dari Mataram, Kamis.
Selain mengubah pidana pokok, majelis yang terdiri dari hakim ketua dan empat hakim anggota tersebut turut membebankan terdakwa membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp1,26 miliar subsider satu tahun dan enam bulan penjara.
Dalam putusan nomor: 8/PID.TPK/2023/PT MTR, turut ditetapkan agar uang sitaan yang menjadi barang bukti dalam perkara tersebut dirampas untuk negara dan diperhitungkan untuk uang pengganti kerugian negara yang dibebankan kepada terdakwa.
Termasuk pengembalian kerugian negara oleh terdakwa senilai Rp50 juta dan tiga sertifikat hak milik (SHM) lahan di wilayah Lombok Tengah yang mengatasnamakan Muzakir Langkir diminta agar dirampas dan dilelang untuk dijadikan penambah pembayaran uang pengganti kerugian negara.
Hakim tingkat banding membuat putusan demikian dengan menyatakan mengubah putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram Nomor 8/Pid.Sus-TPK/2023/PN Mtr tanggal 11 Juli 2023 sekadar mengenai pidana pokok, nominal uang pengganti kerugian negara, dan status barang bukti.
Hakim menyatakan terdakwa Muzakir Langkir terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kumulatif kesatu primer dan dakwaan kumulatif kedua alternatif kedua.
Adapun hal yang menjadi pertimbangan hakim mengubah putusan pengadilan tingkat pertama milik Muzakir Langkir adalah peran terdakwa sebagai Direktur RSUD Praya tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain itu, hakim menyatakan bahwa akibat perbuatan terdakwa kualitas pelayanan RSUD Praya menurun dan munculnya kerugian negara dari kasus ini turut menjadi pertimbangan hakim membuat putusan demikian.